Resah dan Masalah di Kenormalan Baru

  • Whatsapp

SimpulRakyat.co.id, OPINI – Malam ini beberapa berita menderingkan tone notifikasi yang sudah tersetting di ponselku, akhirnya saya lupa untuk keluar melihat tanaman pot yang tiap hari harus disemprot karena serangan hama yang penularannya seperti Covid-19 di Makassar.

Ternyata ada berita Iuran BPJS Naik pada 1 Juli 2020, terus rencana sepeda kena pajak, wihh… berita ini seperti membuat gejala stroke ku mulai terasa naik di kepala, padahal tidak minum kopi apalagi makan coto.

Baca Juga

Saya mulai berfikir resah di tengah pandemi covid-19 ini, masyarakat berbenturan dengan berbagai masalah, buruknya manajemen opini terhadap Covid, ekonomi yang terpuruk, daya beli hilang karena sumber-sumber uang yang macet.

Selain itu, komunikasi sosial berjarak melahirkan suasana yang anti empati, pemerintah dengan kebijakannya kelihatan melahirkan banyak permasalahan baru yang jauh dari substansi menjaga keharmonisan rakyat dan pemerintah, narasi yang harusnya membangkitkan jiwa kepedulian kita bersama baik rakyat dan pemerintah untuk satu hati, dan rasa.

Di Makassar terjadi penolakan rapid test oleh masyarakat dimana-mana, slogan di spanduk berisi pelarangan berbau anarkis menghiasi gerbang masuk beberapa lorong-lorong di dalam kota, manajemen opini yang terlanjur simpang siur sejak awal melahirkan pengikut yang sedemikan hafalnya mereka dengan informasi-informasi kenapa mereka harus percaya (pro) atau tidak percaya (Kontra) dengan bahaya Covid-19.

Padahal, kalau pemerintah khususnya Pemkot Makassar jeli melihat masalah ini bisa membuat tim untuk menemukan hoaks yang beredar secara massif dimasyarakat dan membungkusnya dengan pelurusan data dengan bentuk video berdurasi singkat yang sangat mudah disebar lewat jejaring sosial hari ini.

Konten kreator handal serta data dengan validitas terpercaya bukan masalah untuk pemerintah hadirkan, justru yang masalah adalah ketidakmampuan pemerintah memberikan rasa aman dan percaya terhadap banyak persoalan di masyarakat karena kebuntuan komunikasi publik yang dikalahkan oleh hoaks.

Sumber hoaks dapat menjadi sumber penelusuran awal dalam menghasilkan komunikasi sederhana yang padat informasi.

Contoh saja, beberapa hari yang lalu saya sempat berdebat dengan beberapa orang di salah satu warkop di Pusat Kota Makassar yang selalu ramai di pagi hari.

Perdebatan dengan anggapan Covid itu tidak ada dengan dalih penggali kubur tiap hari hanya memakamkan 20 orang rata-rata sebelum covid dan pada saat Covid jumlah rata-rata itu tetap saja sama, ujar seorang tua yang saya perkirakan di atas 60an tahun.

Ada juga langganan Warkop yang setengah baya bilang ini pengalihan issu karena RUU HIP, pria itu akrab dengan pemilik Warkop walau pertama kali saya melihatnya duduk di Warkop ini.

Agak geli juga dengar perdebatan seperti ini, menjadikannya semakin tidak berkelas, ya begitulah kira-kira kalau duduk di Warkop, kita seperti selalu melihat sudut pandang baru yang terkadang nyeleneh, tapi beberapa di antara orang-orang baru yang tidak kita kenal cukup rasional memaparkan alasan-alasannya, walau sebenarnya yang saya pertanyakan kebenaran sumber data mereka.

Dengan issu yang sama, misalnya setelah hoaks itu kita dengar pemerintah harusnya bisa membuat produk komunikasi berbentuk video durasi pendek untuk melawan informasi-informasi hoaks.

Jika sekadar mengidentifikasi dan manampilkan di Web lemot seperti berita pada umumnya, tentu itu bukan persaingan yang bagus di saat perlawanan hoaks yang sangat massif terjadi, video-video hoaks durasi pendek dengan kemudahan share ke antar media sosial pengguna lain dapat dengan mudah diterima dan disebar dengan sekali klik, minimal cara mengcounternya pun harus dengan media yang sama.

Di saat daya beli hilang karena sumber-sumber pergerakan manusia di-Lockdown, manusia seperti berhenti beraktivitas, orang menjadi tidak dapat bekerja, akhirnya permintaan pasar lemah, PHK menjadi solusi terbaik untuk memangkas pengeluaran perusahaan, meski itu tidak memperbaiki sumber penghasilan mereka, tapi setidaknya bisa membuat mereka masih punya simpanan walau itu hanya bertahan paling lama 2 bulan bahkan kurang dari itu, lalu apa ada solusi lain?

PHK dan efek domino yang dihasilkan menjadikan manusia berputar cara untuk bertahan hidup, mulai dari mengirit belanja dapur mereka, hingga mencari kerja baru, demi bisa hidup hari ini dan berharap masih ada sisa untuk besok.

Pemerintah dengan kebijakan gratis Listrik, bantuan pangan bertahap serta penggalangan bantuan non pemerintah yang sifatnya sukarela menjadi solusi untuk mereka kalangan bawah penerima bantuan sosial.

Lalu, apa kabar dengan kalangan menengah, yang tabungannya sudah habis di bulan ke dua atau ketiga masa pandemi ini, sumber-sumber pendapatannya juga hilang karena ganasnya Covid-19, tapi tetap harus membayar listrik dengan tagihan yang sama, jika tidak rumahnya akan pengap karena akan ada AC yang tidak nyala padahal ada balita yang tak tahu masalah.

Belum lagi belanja dapur yang tetap harus ada, meski itu hanya beberapa sajian sederhana yang jauh dari mewah, yang BPJS-nya masih kelas satu dengan beberapa bulan tagihan tertunggak telat bayar akibat Covid-19, lalu 1 Juli ini sudah harus naik… Alamak inilah ternyata rupa sabar kenapa ia menjadi jalan untuk mendapatkan surga, berat sekali melewatinya.

Satu Juli 2020 juga anak-anak kami akan didaftarkaan untuk masuk ke sekolah baru dengan istilah PPDB Penerimaan Peserta Didik Baru yang harus melewati tahapan administrasi online maupun offline dengan kriteria zonasi, afirmasi dan prestasi, kalau sampai tak lulus homeschooling sajalah nak… Abi dan ummimu juga pemegang ranking jawara sekolah waktu dulu, Insya Allah kau akan jadi anak terbaik dengan kurikulum dari abi dan ummi.

Hampir sebulan pulalah adik saya tinggal di salah satu rumah tante di Makassar, saudara dari ayah saya, dia disini karena harus menunggu operasi cesar yang kedua kalinya, sayangnya kami sekeluarga tidak bisa menemani bahkan berjumpa muka karena takut ada apa-apa, setidaknya arahan physical distancing tetap menjadi protokol kami dalam keluarga, meski ini seperti suasana anti empati yang benar-benar tak kami harapkan.

Kadang membiakkan harapan di kepala lah menjadi salah satu solusi menekan stress di saat harus berkutat di rumah saja, melihat hal yang paling realistis untuk dilakukan dengan bayaran rasa senang paling tinggi tentunya ya begitulah kalau lagi pas-pasan, kalau lebih tentu pilihannya liburan ke eropa atau minimal raja ampat.

Sepeda lipat murah milik anak yang dibeli 4 tahun lalu rencana akan saya modifikasi beberapa part, yang setelah saya hitung-hitung harga partnya lebih mahal dari harga sepedanya, hahaha… mungkin ini efek demam sepeda di Makassar seperti istilah 3 pencapaian seorang pria harta, tahta dan sepeda.

Tapi sepertinya setelah baca berita pemerintah akan kenakan pajak ke sepeda saya jadi malas untuk ngutak atik sepeda walau berita ini sudah diklarifikasi oleh Kemenhub, tapi harusnya pemerintah tidak bermain-main dengan issu kebijakan yang mengganggu perasaan rakyat di saat pandemi seperti ini.

Mungkin, gambar sepeda yang kemarin saya perlihatkan kepada tiga anak saya mau saya ganti dengan scoter saja, saya takut dia kecewa siapa tahu ini benar-benar nanti akan disahkan kan jadi ribet urasnnya sedang dia tidak tahu kalau membayar pajak itu berat, bahkan Dilan pun tidak sanggup jika sedang dalam krisis seperti ini.

Penulis : Aksam S Tunggeng (Jurnalis/Aktivis)

SimpulRakyat.co.id adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Jangan Lewatkan