Soal Kanre Rong, Ketua KGS LAI Sulsel: Hati-hati Opini yang Menyesatkan

  • Whatsapp
Ketua Umum Lembaga Aliansi Indonesia, Jhoni Lubis (Kanan) bersama Korwil Intelijen Investigasi Lembaga Aliansi Indonesia, Muh Bahar Razak (Kiri).

SimpulRakyat.co.id, Makassar – Ketua DPD Komando Garuda Sakti (KGS) – Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) Provinsi Sulawesi Selatan, Muh Bahar Razak mengatakan, beberapa pekan terakhir ini, pihaknya melihat di beberapa media siber orang-orang yang mempersoalkan Sewa-menyewa TDU di lapak Kanre Rong Karebosi, Jalan Kartini.

“Seperti yang dinyatakan oleh Kepala UPTD Kanrerong, ‘sangat tendensius’ dan kelihatannya memang mengarah ke situ,” ujar Bung Bahar, sapaan akrab Muh Bahar Razak ke media ini lewat keterangan tertulisnya, Kamis (22/10/2020).

Baca Juga

Lanjut dikatakan, seharusnya dalam menyikapi persoalan lapak Kanre Rong Karebosi itu harus pula sesuai yang ada di ketentuan peraturan Walikota Makassar Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pedagang Kaki Lima Kanre Rong Karebosi.

“Sebab, jika kita menilik ke Perwali tersebut, memang agak serba salah ketika melihat dari jangka waktu masa berlaku TDU yang hanya 2 tahun, sebab dalam perjalanan 2 tahun itu, tentunya tidak akan mulus seperti yang kita lihat pada awal-awalnya berdiri, dan yang paling mampu merasakan perjalanannya itu hanya pengelola atau UPTD,” terang Bung Bahar.

Kemudian ujar bahar, yang dipersewakan itu sebenarnya TDU atau Lapaknya?. Dia mengira tidak akan mungkin TDU yang sudah atas nama seseorang, lalu kemudian dipersewakan, apalagi dipindahtangan, kecuali tempat usaha, sebagaimana yang disebutkan pada pasal 1 angka 11 Perwali:

“Tanda daftar usaha yang selanjutnya disingkat TDU adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai tanda bukti pendaftaran usaha sebagai alat kendali untuk pemberdayaan dan pengembangan usaha kreatif pada lokasi PKL Kanre Rong”

Selain dari itu kata Bung Bahar, sekalipun secara fungsional operasionalisasi PKL dilaksanakan oleh UPTD, namun dalam pelaksanaannya harus memiliki aturan tersendiri, seperti pad pasal 3 Perwali, dan seharusnya sudah dibentuk oleh pihak yang berwenang.

“Lihat pada pasal 7 ayat (2) huruf d, dimana setiap PKL yang berusaha di Kanrer Tong telah mengisi surat pernyataan, lalu isi pernyataan tersebut hanya mengatur salah satunya pada poin 4),” ungkap dia.

Berikut poinya, “Tidak memindahkan tangankan TDU kepada pihak lain”.

“Saya kira, sekali lagi TDU-nya tidak akan mungkin dipersewakan. Kalaupun Lapaknya yang dipersewakan, tentu yang menyewakan adalah pemegang TDU yang telah Bangkrut atau tutup usaha,”

“Atau karena mungkin ada sebahagian kosong yang belum didaftar atas nama PKL, cuman sayangnya istilah lapak tidak dikenal oleh Perwali,” terang Bung Bahar.

“Kemudian jika semua PKL sudah tutup usaha atau Bangkrut, kira-kira Perwali itu masih bermanfaat apa tidak?,”

“Jika ada inisiatif dari UPTD agar tetap ramai dan dikunjungi para pembeli, lalu kemudian usaha yang sudah tutup atau bangkrut tersebut dibuka kembali kemudian dijalankan oleh PKL lainnya, lalu salahnya dimana?,” tanya Bahar.

Dikatakan pula, TDU itu yang menerbitkan Wali Kota Makassar, kecuali ada pendelegasian kepada pejabat lainnya, dan harus diketahui pula, jika TDU itu hanya bentuk administrasi atau surat.

Setiap satu tempat usaha atau lapak, harus memiliki TDU kemudian berlaku hanya 2 tahun sejak diterbitkannya, selanjutnya dapat diperpanjang tanpa batas waktu yang ditentukan oleh Perwali.

“Lagi pula jika pemohon PKL tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh wali kota, kan dapat ditolak, yang tentunya dengan menyampaikan alasan-alasan penolakan dari pejabat terkait,” tambah dia.

Lanjut diterangkan, pengaturan zona itu yang menentukan adalah Dinas Koperasi UKM, dan untuk menempati tempat usaha, dasarnya adalah TDU, yang artinya, setiap lapak melekat Hak kekuasaan atas nama yang ada di TDU, yang bahkan kegiatan usaha pun harus sesuai dengan yang tercantum pada TDU.

“Jadi jika ada terjadi sewa-menyewa, tentu yang paling bertanggung jawab adalah pemegang TDU sekaligus yang menguasai lapak,” ujar Bahar.

Ia juga mengatakan, di setiap lembaga pemerintahan dimanapun, kebijakan itu penting ketika terdapat kondisi-kondisi tertentu, dengan tujuan utama untuk kepentingan yang lebih baik dan lebih besar dari pada tidak dilakukan, yang kemungkinan besarnya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pula dan akan menjadi sia-sia.

“Kebijakan untuk kelangsungan Pasar Kuliner Kanre Rong yang hampir redup perlu diterapkan, karena jika tanpa terobosan yang dilakukan oleh UPTD, saya yakin Kanre Rong akan mati suri, lagi pula di Kanre Rong itu dalam operasionalnya mungkin tidak menggunakan uang daerah,”

“Sedangkan fasilitas yang nyata dan telah dinikmati oleh PKL seperti listrik, air bersih, wifi serta keamanan itu membutuhkan anggaran. Tentu muncul pertanyaan, apakah fasilitas yang dinikmati itu ada konpensasi dari PKL yang telah berusaha mencari ‘keuntungan’ di lokasi Kanre Rong?,” imbuh dia.

Terakhir kata Bung Bahar, justru jika berbanding terbalik, Pemkot sebaiknya mempertimbangkan agar dapat memberikan Reward terhadap UPTD, karena setahun yang lalu saja dilihat bersama, Kanre Rong itu seperti pasar mati dan hampir menjadi barang rongsokan yang tidak terurus.

“Mengapa setelah ramai seperti sekarang ada-ada saja orang yang mau jadi pahlawan?,”

“Saya kira, warga tidak akan terpengaruh dengan berita-berita yang memojokkan dan sangat ‘tendensius’ yang sengaja ‘digoreng’ dan jika mereka itu berhasil membuat konflik kemudian ada korban,”

“Maka pada akhirnya, justru membahayakan kelangsungan usaha PKL Kanre Rong itu sendiri dan akan merugikan masyarakat Kota Makassar pada umumnya, karena untuk menghidupkan sesuatu yang mati itu sulit,” tutupnya. (AAN)

Jangan Lewatkan